Jutaan Pelajaran Hidup dari “Segempal Tanah yang
tercampak dari surga”
(Arief Farendra Makarim)
“Ini BUKANLAH tentang
puncak, samudera diatas awan, edelweis, namun ini tentang Nilai Hidup,
persahabatan dan Pengorbanan!!”
Gambar 1 : Tugu Macan, Barbek sebelum pendakian
PART 1!!
Quotes diatas itu bukan sebuah gambaran tersirat tentang artikel
ini, namun itu memang nyata, bahwasanya jika teman-teman pembaca ingin
mendengar cerita keindahan Puncak Kerinci, ganasnya track Shelter 3 yang begitu
terkenal atau tugu Yudha yang legendaris itu, maka teman-teman akan kecewa
karena semua itu tidak akan ada dalam tulisanku kali ini.
Ini adalah pendakian kali ke-2 ku ke
Gunung Kerinci. Seakan diliputi kerinduan yang mendalam kepada alam hutan hujan
tropis sumatera khas gunung kerinci, aku pun menunggu momen kesempatan
selanjutnya untuk kembali kesini. Padang, 3 maret 2016, mimpi itupun menjadi
kenyataan. Ya, lambaian puncak Inderapura seakan memancarkan sukma yang begitu
indah untuk ditapaki. Aku bersama teman-temanku sudah mempersiapkan diri secara
matang (atau mungkin setengah matang).
Mulai dari carrier yang penuh dengan alat dan segala macam logistik yang
akan kami konsumsi hingga persiapan mental untuk melihat keagungan Tuhan,
puncak gunung Kerinci 3805 Mdpl, gunung api tertinggi di Indonesia.
Tepat pukul 11.00 wib, kami pun
memulai petualangan indah sekaligus menantang, yang membuat pandanganku
terhadap alam liar berubah. Mungkin bagi orang yang awam tentang alam, jauh
lebih nyaman tidur diatas kasur busa dan ditutupi selimut hangat ketimbang
harus bersempit-sempit ditenda, atau makan enak buatan restoran ternama
ketimbang makan mie rebus yang bahkan separo larut di perut. Namun dalam
kisahku ini, kalian akan tahu, bahwa keindahan dan keanekaragaman alam itu,
jauh lebih menakjubkan rasanya ketimbang segala kemewahan yang ada didunia ini.
Kami memulai perjalanan dari kota Padang
menuju kerinci dengan 6 motor yang kami bawa bersama-sama. “kami”? ya, sekumpulan
anak muda berjumlah 11 orang yang memiliki ambisi besar untuk menghadapi
petualangan menantang walaupun kami tahu, rintangannya tak mudah. Ya, kami
adalah Aku (arief), Muray (temanku yang rada rebel), Jarwok ( Si kutilang),
Boim (Lelaki sejati yang hobi masak), Yoyoi (leader clan kami yang garang namun
humoris), Isra (Interisti Sejati pembenci juventini), Aga alias Ayah (sang
bapak dan juru selamat dalam clan kami), Yongki (Red devil yang punya 2 istri,
1 diantaranya jadi-jadian), Andri (Si Bawel yang suka celoteh lebih dari burung
paling cerewet sedunia), Fando (Anak Sasing yang begitu fanatik terhadap
profesinya sebagai mahasiswa bahasa) dan terakhir Temon (bukan temon temannya
Abdel ya!). Setelah 6-7 jam perjalanan Padang-Kerinci, kami akhirnya sampai di
Kaki gunung Kerinci, tepatnya di desa Kersik Tuo. Kami pun memutuskan
beristirahat dan bercengkrama dengan penghuni basecamp Kerinci, sekitar 100
meter sebelum Tugu Macan, tugu yang begitu popular bagi kalangan pendaki. Kami disambut
dengan segala keramah-tamahan penduduk lokal Kerinci yang memang terkenal
dengan sopan santunnya.
Gambar 2 : Basecamp Kerinci
Seakan pertanda bahwa kami telah
dilarang untuk melanjutkan perjalanan, kabar itu seakan datang dari langit
diterpa angin dan membisik ditelinga kami, belum satu jam duduk dan
beristirahat di Basecamp, kabar “buruk” datang dari Padang. Kota kami dilanda
gempa yang cukup kuat, 8,3 SR. Ini sempat membuat diriku dan teman-teman gusar.
Sempat aku berpikir akan kembali ke Padang malam itu juga, namun setelah
bujukan dan kata-kata dari teman-teman lain bahwa Padang aman (walaupun aku
tahu, mereka tetap cemas), aku pun mengurungkan niatku tersebut dan kembali focus
menatap perjalanan kami dirimba sumatera esok hari. Cuaca cerah bertabur
bintang malam itupun menambah tekadku untuk tetap berusaha menjejakkan kaki ke
tanah tertinggi sumatera keesokan harinya. Kami pun beristirahat, meregangkan
otot dan menyimpan tenaga untuk perjalanan besar keesokan hari.
Gambar 2 : Pos pintu masuk Kerinci, 5 menit sebelum pintu rimba
Keesokan harinya, pukul 08.00 wib, 4
maret 2016, kami pun bersiap untuk melakukan perjalanan. Mengawali hari dengan
sarapan bersama di pasar dekat basecamp, lalu menunggu tumpangan untuk mencapai
Pintu Rimba, rencana kami pun molor dari jadwal seharusnya. Kamipun harus
memulai pendakian pukul 10.30 wib. Bermodal pengalaman mendaki Kerinci
sebelumnya, teman-teman sepakat untuk memilihku sebagai leader pendakian kali
ini. Melihat matahari yang mulai menyingsing ujung kepala, kami pun merubah
rencana. Sebelumnya kami menargetkan Shelter 3 sebagai tempat camp kami malam
ini, namun karena masalah waktu, kami pun memutuskan nge-camp di Shelter 1,
zona kuning dalam wilayah Taman Nasional Kerinci Sablat untuk melakukan camping.
Sebelum melanjutkan cerita, sekedar informasi bahwa dalam kawasan TNKS,
terdapat beberapa wilayah yang dibagi 3 yaitu zona Merah (antara Pintu
Rimba-Pos 3 Panorama), Kuning (antara Pos 3-Shelter 1) dan Hijau (Shelter 1
keatas). Ini tidak terlepas dari kawasan TNKS yang masih erat dengan populasi
binatang-binatang liarnya, mulai dari Babi hutan, Badak Sumatera, Macan Kumbang
dan si “special” Harimau Sumatera. Yap, nama terakhir ini yang begitu melegenda
di kawasan Taman Nasional ini, dan juga menjadi bumbu penyedap dalam perjalanan
kami kali ini. Saking sedapnya, bahkan melebihi makanan terenak didunia,
Rendang.
To Be Continued….
No comments:
Post a Comment